Kamis, 31 Januari 2013

CERPEN CINTA ABADI


         Saat senja, langit jingga menyapa.
        “Hiks.. Hiks..”
        Gadis berpipi tembem itu terus saja meneteskan air matanya. Sambil duduk di kursi taman dibawah pohon cemara tepat di belakang kampus.
        “Morins..” Sapa Mutia sahabat Morins.
        “Eh kamu, ada apa Mut?”
        “Dari tadi aku muter² nyariin kamu, ternyata kamu disini. Ada tugas yang harus kita kerjain bareng dari dosen.”
        “Maaf yaa, aku gak tau kamu nyariin aku.”
        Morins masih tertunduk sambil mengusap tetesan mutiara bening yang berlinang di pipinya yang merah itu, mirip seperti kue bapau.
        “Kamu kenapa disi sendirian Rins? Sambil nangis lagi. Kamu masih kepikiran soal Andre?”
        Andre adalah orang yang Morins sayang. Yang pernah singgah di hatinya. Tapi Andre udah nyakitin Morins, dia nghianatin Morins. Dia bilang sayang Morins, tapi dia milih cwe lain. Padahal Morins sayang banget  sama  Andre.
        “Emm, aku gapapa ko. Aku baik² aja Mut, hehe.” Sambil Morins tersenyum kecil. Mengangkat  pipinya yang merah itu, manis.
        “Kamu tuh ya, selalu aja nutupin perasaan kamu dari aku, nanti aja kalo butuh, baru deh curhat, hehe.”
        “Ah kamu tau aku banget sih? Aku jadi ga enak.”
        “Haha, Mutia gitu. Eh ntar malem nginep rumah aku ya? Kita kerjain tugas bareng.”
        “Oke, tapi aku pulang dulu ya? Aku mau ngandangin mobil terus aku nebeng kamu deh!”
        “Huh, dasar gak modal kamu.”
        “Hehehe,, peace. BBM naik nih, aku belum dapet jatah, hehe.”
        “Yaudah deh, cabut! Dah sore nih.”
-O00000O-

        Mentari membelai hangat bumi. Tersenyum cerah membangkitkan semangat. Membangunkan embun² yang sempat membeku. Dinginnya malam berganti pagi yang hangat.
        Morins dan Mutia telah siap berangkat ke kampus.
Nganterin titipan mamah.”
        “Owh iya deh Mut, CU.”
        Ahirnya Morins berangkat bareng Evan.
        Evan sepupu Mutia. Ortu Evan diluar negeri ngurus bisnis, tapi Evan kuliah di Indonesia. Evan udah semester 7, satu semester lagi dia wisuda. Sedang Morins dan Mutia masih semester 5.
        Sampai di kampus.
        “Evan, makasih ya?”
        “Sama² manis, hehe.”
        “Biasa aja deh, aku kelas duluan ya?”
        “Oke, ati² lho ya?”
        Sosok laki² yang mudah bergaul. Ramah dan perhatian.
 -O00000O-

        Jam makan siang Morins ke kantin. Alone. Sambil pasang muka rada² cemberut. N........
        Bbrruugggkk...
        “Aduh...”
        “Aww...”
        “Aduh Evan, Maafin aku! Aku beneran ga liat kamu. Maaf ya?”
        “Hehehe, gapapa. Aduh kok ngelamun sih? Lagi mikirin apa Rin?”
        “Hehe.. Biasa lah ada problem.”
        “Boleh aku tau? Ahir² ini kayanya kamu murung. Aku mesem makanan dulu.”
        Mereka berdua lunch together. Sambil ngobrol² juga.
        “Rin, kamu kenapa?”
        “Aku ada problem Van, biasa soal cwo, hehe.”
        “Boleh aku tau? Coba kamu ceritain, siapa tau aku bisa bantu.”
        “Kamu tanya Mutia aja, aku males  jelasinnya.”
        “Oh.. Yaudah, maaf kalo aku nyinggung kamu ya?”
        “Engga ko, gapapa.”
        “Oiya, by the way mau ngga aku hibur kamu? Aku mau ngajak jalan² ketempat yang cocok buat kamu. Kamu bisa ngeluarin semua perasaan kamu disana.”
        “Yang bener Van?”
        “Iya bener lah, masa seorang Evan bohongin cwe seimut kamu? Hehe.”
“Hehe, boleh deh. Kapan?”
“Besok ya? Pulang kampus?”
“Oke siph, calling aku ya besok? Makasih mau bantu.”

“Iya sama², sante aja kali.” Katanya sambil tersenyum.
-O00000O-

Keesokan harinya.
“Van, kita mau kemana?” Sambil duduk manis di mobil Evan.
“Kita  jalan²  Rins, kebeneran aku juga jenuh.”
“Iya,, tapi kemana?”
“Tunggu aja nanti nyampe.”
Cciittt... Mobil Evan berhenti.
“Kita kesini Van? Kok kebun² teh gini?”
“Belum nyampe, cuma parkir aja, tuh liat bukit itu! Kita naik ke atas.”
“Wah, kayanya asik..!”
“Iya donk, yuk kita naik?”
Mereka melanjutkan dengan jalan kaki, sekitar 15 menit sampai di puncak.
“Nih sampai ddeh..”
“Waahh indah banget Van.. Pemandangannya... Waah beautiful.”
“Kita cari tempat duduk yuk, tuh ada pohon gede. Duduk dibawah situ. Banyak rumputnya.”
“Ayo...”
Evan  meraih tangan Morins dan menggandengnya.
DEG
Ada sesuatu yang Morins rasakan.
“Rins, aku dah ama semua masalah kamu! Kamu sabar ya, lupain aja cowo itu.”
Tak terasa mutiara bening itu berlinang lagi di pipi Morins. Morins hanya menangis dan terdiam.
“Morins... Hey... Udah donk...”
Evan membersihkan air mata Morins dengan kedua telapak tangannya. Lembut
“Ayo berdiri. Kamu triak aja disini sekenceng²nya!”
“Gak ada yang denger Van?”
“Gak ada lah Rins. Nih yaa aku triak.. Hhhhhhaaaaaa...”
“Hihihi...”
“Kok ketawa? Lucu ya?”
“Engga kok, aku ga pernah triak²
“Coba aja, nanti kamu lega!”
“Hhhhaaaaa...”
“Gimana Rin?”
“Biasa aja? Hahaha..”
“Iicch, kamu tuh, hehe. Ayo lagi”
“Hhhhhhhaaaaaaa...”
“Bareng² ya Rin”
“Hhhhhhhhaaaaaaaaa...”
“Hhhhhhhhaaaaaaaaa...”
“Cape ah triak² terus.”
“Dasar cwe, dikit² ngeluh.”
“Hehe, eh di bawah ada sungai ya?”
“Iya, mau kesana? Ayo.”
Waktu terus berlalu, mereka tetap menikmati kebersamaan itu. Mereka semakin dekat.
“Hiyahh.. Aku cipratin kamu nih..”
“Wah Morins nakal nih, bales ah, hahaha.”
“Huh, basah kan.”
“Aku juga basah, wee.”
“Iiicchh iicchh iicchh. Hahaha.”
“Moorriinnss, tambah basah nih.”
“Biarin, hahaha.”
Tak terasa senja menyapa. Ahirnya mereka pulang. Membawa uraian canda tawa, tampak sedikit demi sedikit rasa sakit itu terlupakan oleh Morins.
-O00000O-

Rembulan muncul di temani bintang² yang bertaburan. Morins termenung sebelum dia disapa oleh mimpi.
“Apa yang tadi telah kulakukan? Bersama Evan. Kenapa aku merasa ada yang berbeda? Ada apa dengan diriku?”
-O00000O-

Hari berganti hari, hubungan Evan dan Morins semakin dekat saja. Sampai suatu saat..
“Rins.. Kita ke bukit lagi yuk?”
        Yaa .. Sekarang itu menjadi tempat yang sering mereka datangi.


“Ayo, kita main² lagi ya?”
Sampai di bukit. Tak lepas Evan menggandeng tangan Morins.
“Morins... Boleh aku ngomong sesuatu?”
“Iya... Apa...?”
“Rins... Aku sayang kamu. Mau kamu jadi pacarku?”
Dag Dig Dug.
Rasanya lidah Morins tidak bisa menolak itu!
“Aku... Aku mau Van.”
Eeemmmmhhhh.
Pelukan hangat itu Evan berikan kepada Morins.
Tiada yang bisa mereka lewatkan tanpa canda tawa.
“Rin, nih ada bunga, huuhh.!” Evan meniup bunga itu. Mahkota putih bunga itu beterbangan dan hinggap di rambut Morins.
“Nakal dehh, cubit sini, iicchh.”
Evan berlari menghindar.
“Hahaha... Morins... Morins...”
“Gitu, males ah, aku cape lari² ! Aku pulang sendiri nih.!”
“Eh... Jangan, hehe. Aku bersihin sini rambut kamu.”
Evan membersihkan rambut Morins.
“Morins....?”
Mereka saling bertatap mata sejenak.
Dan....
Mmmuuuaaaaccchhh...
Satu kecupan manis di bibir Morins. Evan memeluk erat Morins, membelai rambutnya.
“Aku sayang kamu.”
“Aku juga sayang kamu Van.”
“Eh, kita ukir nama kita di pohon yuks. Mumpung aku bawa cutter.”
“Okey dech... Kita bikin.”
   Evan
 

          
        Morins
“Selese Rins, hehehe.”
“Simple ya, tapi bagus.”
“Pulang yuks?”
“Ayuk Van.”
Mereka berjalan bergandengan tangan, tapi Moris kurang hati².
“Aww, sakittt.” Morins terjatuh, lututnya luka.
“Yahh,.Aduh Morins, kamu gak ati² sih.”
Evan membersihkan luka Morins dengan sapu tangannya.
“Udah, sini kamu aku gendong.”
“Tapi Van....”
“Ayo ah cepet naik punggung aku.”
“Hahaha, ayo kuda ku jalan.”
“Wah, mau aku turunin nih, ditolongin malah ngatain kuda.”
“Ngga, aku kan sayang sama kuda ku ini lho.”
“Hahaha, dasar Morins embem.”
-O00000O-

Tak terasa satu tahun telah berlalu hubungan Evan dan Morins.
Sekarang Evan sudah bekerja membantu bisnis orang tuanya. Ortu Evan telah merestui hubungan Evan dan Morins. Saat Evan akan mengantar orang tuanya ke luar kota tidak di duga nasibnya malang.
-O00000O-

Mutia menelpon Morins
“Hallo Rins...”
“Iya Mut,”
“Ada kabar buruk !”
“Kabar buruk apa Mut?”
“Evan Rins...”
“Hah? Evan...? Kenapa Evan?”
“........................”
“Mut.... Jawab ! ”
“Hah.....?”
Morins benar² tidak menyangka. Satu persatu air mata menyusul utnuk mencair. Dia buru² ke rumah sakit.
“Mut, gimana Evan? Ortunya?”
“Hiks.. hiks.. Kata dokter, Evan gegar otak. Dia hilang ingatan. Ortunya... Ortunya meninggal Rins, hiks.”
“Ya Tuhan... hiks... hiks”
“Kamu tengokin Evan gih.”
“Iya Mut.”

Perasaan Morins terasa tidak menentu. Syok, sedih, kwatir dengan keadaan Evan. Morins duduk di samping tempat Evan berbaring dipandang mata Evan yang masih terpejam dalam². Kepala Evan di balut perban putih.
Tak berapa lama matanya mulai bergerak..................Membuka.

“Evan, kamu udah sadar?”
Ditatapnya Morins dengan rasa bertanya². Mencoba mengumpulkan memory di otaknya.
“Morins...”
Lega hati Morins, Evan masih mengingat dirinya.
“Iya sayang, aku di sini.”
Namun kelegaan Morins berubah menjadi sebaliknya.
“Apa kata mu? Sayang?”
“Van, aku pacar kamu Van.”
Air mata Morins kembali mencair.
“Pacar? Seingat ku aku tak punya pacar.”
Lalu dokter masuk ke ruangan Evan dan memeriksanya.
“Jangan terlalu memaksa untuk mengembalikan ingatannya, kondisinya masih lemah. Tunggu sampai kesehatannya pulih.” Kata dokter itu.
“Baiklah Dok, apa dalam waktu cepat ingatannya bisa pulih?”
“Saya tidak bisa memastikan, tergantung keadaan pasien itu sendiri. Masih ada kemungkinan namun tidak terlalu besar.”
Selesai menjelaskan keadaan Evan, dokter itu meninggalkan kamar.
-O00000O-

Saat Evan sudah pulih, Morins mencoba membawa Evan ke tempat dimana mereka sering bertemu. Dia berharap Evan bisa ingat memorynya lagi.
“Rins, kenapa kamu bawa aku ke sini?”
“Karna di sini kita berbagi kasih sayang, canda tawa.”
“Maksud kamu apa Rins?”
“Kita sering ke sini Van, kamu ga inget?”
“Aku gak inget apa². Setau aku, aku baru pernah ke sini.”
“Van, liat pohon itu !”
“Iya.. Kenapa?”
“Liat batangnya, ada ukiran nama kita.”
        Evan
       

        Morins
“Siapa yang bikin itu Rins?”
“Kita yang bikin Van, kamu liat sungai itu?”
Mata Morins mulai berkaca-kaca.
“Ada apa sama sungai itu?”
“Kita sering main di sana, basah²an ..Apa kamu ga inget juga?”
“Aku belum pernah kesini Rins, aku ga iget apa².”
Morins tak bisa menahan semuanya.
Di peluknya Evan dan tangisnya pun tumpah.
“Evaaaannnn.....”
Memory di otak kecilnya kembali terbang ke masa lalu.
Morins benar² tak bisa berkata-kata. Teringat dimana Evan mengajaknya ke tempat ini, menghibur saat dia di kecewai oleh seseprang yang dia sayang. Menghapus air mata di pipinya. Berteriak bersama meluapkan pikiran, saat Evan menggandeng tangannya menggetarkan hatinya. Sampai dia menyatakan cintanya, mengukir nama mereka di pohon, menggendong Morins saat dia terjatuh. Sampai yang tak bisa di lupakan Morins, saat Evan pertamakalinya memberikan kecupan manis dan pelukan hangat pada Morins.

Hhhaaaaa, ingin sekali Morins berteriak sekencang-kencangnya, namun pita suaranya tak bisa bergetar. Dia hanya bisa menangis di pelukan Evan. Semua kenangan indah semasa silam seolah-olah hilang di telan waktu. Hati Morins hancur menghadapi kenyataan ini. Berat sekali cobaan hidupnya. Orang yang sekarang dia cinta tak bisa mengingat kenangan manis mereka.

Evan pun tak berkata  apa². Dia hanya membelai rambut Morins, dia berfikir dengan seperti itu Morins bisa tenang. Namun apa boleh jadi, Evan tak bisa mengingat memorynya.
-O00000O-

Beberapa saat kemudian Evanpindah keluar negeri bersama tantenya. Orang tuanya telah tiada dan sekarang dia bekerja membantu tantenya. Morins sudah pasrah, mungkin ini yang terbaik untuk dia dan Evan, perlahan dia mulai bisa melepas Evan.

5 TAHUN KEMUDIAN

Mutia calling.
Di ambilnya handphone itu dan mengangkat telfonnya.
“Hallo Mutia?”
“Hallo Rins.”
“Iya, ada apa Mut?”
“Rins, aku mau bilang sesuatu sama kamu.”
“Masalah apa?”
“Evan.”
“Evan...?”
“Iya, dia mau ketemu kamu.”
“Apa? Ketemu?”
Evan udah sembuh Rins.”
“Taa... tapi Mut, gimana kalo dia tau keadaan aku yang sekarang?”
“Aku udah cerita semuanya, awalnya Evan syok, tapi perasaannya ga bisa di bohongi. Dia udah bisa nrima kamu kok.”
“Syukurlah, terus kapan dia mau ketemu aku?”
“Besok siang di tempat kalian sering ketemu dulu.”
-O00000O-

Keesokan harinya.
Morins pergi ke bukit, sesampainya disana...
Sosok laki² tegak berdiri di bawah pohon, di dekatinya laki² itu dan dia panggil
“Evaann.........”
Lalu laki² itu berbalik badan dan langsung memeluk  Morins.
“Morins........”
Keduanya tenggelam dalam tangis dan pelukan yang erat.Tak ada kata² yang dapat di keluarkan dari mulut mereka. Lidah mereka kaku tersiram air mata. Air mata kerinduan, air mata kebahagiaan dan cinta.
Lalu Evan mulai mengusap pipi Morins.
“Udah...  Jangan nangis cantik.”
Ucapan itu.....
Sungguh merasuk hati Morins. Di tatapnya dalam² dua bola mata Evan, laki² yang dia cinta. Namun dia belum bisa bangkit dari tangisnya.
Dia kembali terjatuh dalam tangisan di pelukan Evan.
“Morins, udah ya.”
Morins mulai berhenti meneteskan air mata.
“Rins, maafin aku ya Rins. Aku terlalu lama ninggalin kamu, sampai kamu sekarang jadi milik orang lain dan kamu belum  bisa bahagia Rins.”
“Kamu gak perlu minta maaf Van, ini sama sekali bukan salah kamu.”
“Mutia udah cerita semua sama aku. Dia udah kasih tau kalo kamu udah nikah. Tapi itu semua karna kemauan ortu kalian. Yang sebenernya kamu gak cinta sama suami kamu, dan dia juga gak cinta sama kamu. Kamu gak bahagia dengan semua ini. Mungkin dulu kalo ada aku, mungkin aku bisa bikin kamu bahagia Rins. Awalnya aku syok denger kamu udah nikah, tapi karna kalian ga saling cinta, aku masih merasa behak atas kamu.”
‘Gapapa kok Van, aku udah bisa nrima keadaan ku yang sekarang.”
“Gimana kandungan kamu Rins?”
“Emm, aku sebenernya belum pengin hamil Van, tapi ortu kita... Yaah, aku bingung. Aku sama dia Cuma pengin bikin ortu kita bahagia, ini yang mereka mau. Sekarang  umur kandungan ku 2 bulan Van. Sebernya suami ku, dia juga di luar negeri dan dia juga cinta sama cwe lain. Di sini aku Cuma sendiri, tapi ga masalah buat aku.”
“Ya ampun Morins. Kenapa semua  jadi kaya gini? Kasian kamu.”
Morins tak menjawab, ia hanya tersenyum kecil pada Evan, entah apa yang dia pikirkan. Bingung harus apa. Laki² yang dia cinta sekarang kembali, namun status nya sekarang sudah menikah.
Di pegang tangan Morins oleh Evan.
“Morins, aku cinta kamu. Aku bakal berjuang buat cinta kita.”
“Iya Van, aku juga cinta kamu.”
Mereka terlelap dalam pelukan hangat dan canda tawa, persis seperti masa lalu. Itu sedikit mengurangi beban Morins
-O00000O-

Hari² Morins kini ditemani Evan, dia tidak perduli atas status yang dia mau dia bahagia. Yaa, hampir 1 bulan mereka bersama lagi.
Sore hari Evan mengajak Morins jalan². Namun bukan ke tempat biasa. Dia mengajak Morins ke taman.
Saat sedang berjalan Morins memegangin perutnya.
“Aww, sakit Van...”
“Rins, kamu kenapa?”
“Perut aku sakit.”

Darah segar mulai keluar dari sela² kaki Morins. Evan panik dan langsung membawa Morins ke rumah sakit.
-O00000O-

Di rumah sakit dokter segera memeriksa Morins.
“Pak, sayang sekali istri bapak keguguran.”
Kata dokter itu yang mengira Evan adalah suami Morins.
Mendengar kata² itu Morins menangis sambil memegang erat tangan Evan. Evan membelai rambut Morins sambil menenangkan.
“Sabar ya Rins.”
Namun darah yang keluar tak kunjung berhenti.
Morins pendarahan hebat, sampai dia tak berdaya.
“Sakiittt Vaan,.....” Rintih Morins.
Dilihat laki² yang dia cinta meneteskan air mata.
“Kamu harus kuat Rins, kamu kuat.”
“Tapi sakit Van.....”
Morins terus saja merintih, tangannya tak lagi bertenaga menggenggam tangan Evan.
Dengan lirih, sekuat tenaga dia berkata
“Evaan... aa..aku... cinta kamu.”
Dan.........
Mata Morins terpejam..................... tuk selamanya.
 “Morins.... bangun Rins, bangun !” Evan tak bisa menerima itu
“Hhhhhhaaaaaa”
Seketika tangis Evan pecah. Dia kehilangan orang yang sangat dia cintai.
-O00000O-

Senja kelabu nan pilu.
Di temani rangkaian bunga, satu minggu silam Morins pergi meninggalkan Evan. Di panjang nisan di makan Morins. Bersebelahan dengan makam orang tua Evan. Air mata cinta itu terus mengalir. Dia membisu, pikirannya melayang.
“Kenapa ya Tuhan, Orang² yang aku cintai pergi begitu cepat. Apalagi Morins, baru aku bertemu dia beberapa saat, dan keinginanku untuk membahagiakan dia belum terwujud. Tapi mengapa ini begitu cepat terjadi? Pertemuan yang sangat singkat, padahal aku sangat mencintai Morins.”
Tiba-tiba kepala Evan.
“Aaaaarrrgghh.”
Hitam, gelap, gelap dan semakin gelap. Evan terjatuh di atas tanah makam Morins.
“Evan..”
Panggil Mutia yang menemani Evan. Dia langsung membawa Evan ke rumah sakit. Celaka....... Mutia terlambat.
“Bagaimana keadaan Evan Dok?” Tanya Mutia pada dokter yang baru keluar dari kamar setalah memeriksa Evan.
“Maaf kami tidak bisa menolong nyawa Evan. Kanker otak yang dia derita sudah sangat parah.” Kata² yang keluar dari mulut dokter itu.
Mutia hanya bisa menangis, penyakit yang sejak dulu di derita sepupunya, kini telah memakan nyawanya.
-O00000O-

Kini,
Di bawah pohon kamboja itu telah tertancapkan 4 nisan. 2 pasang orang yang saling mencintai.
Angin sepoi-sepoi membangunkan suasana sepi makam itu.
Menggugurkan bunga kamboja.
Langit jingga ikut menemani kesunyian itu. Kepergian orang² yang saling mencintai. Di sana mereka telah bahagia, berpelukan dan tersenyum senang. Menikmati dunia dan alam yang baru. Mungkin di dunia ini cinta mereka hanya bisa bersatu sesaat dan keadaadn menjadi berubah, namun jika mereka cinta sejati cinta mereka akan  tetap bersatu tak terpisahkan oleh jarak dan waktu, selalu berseni dan abadi selamanya.